Sekuat Bahu Anak Perempuan Pertama
Aku seorang anak perempuan pertama dari tujuh bersaudara. Usiaku terpaut enam tahun dengan adikku yang nomor dua, yang kini tengah duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Kejuruan Swasta di kotaku. Sementara aku, aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas negeri di kota ku. Karena jarak yang cukup jauh dari rumah, aku pun tinggal di sebuah kostan muslimah khusus mahasiswa.
Aku adalah seorang mahasiswa bidikmisi. Yang mana, harus selalu mengoptimalkan ipk di tiap semesternya supaya beasiswaku tetap berjalan. Selain menghabiskan hari-hari di kelas untuk berkuliah, aku juga mengikuti beberapa organisasi keislaman guna menambah skill dan relasiku.
Hari-hari pun berjalan dengan lancar. Sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Kuliah, nugas, organisasi, juga sesekali main untuk merefresh isi kepala. Tidak ada hambatan yang berarti selama aku menjalani proses perkuliahan.
Hingga tibalah saat dimana beasiswaku tidak bisa di gunakan lagi sebab aku sudah lebih dari delapan semester. Aku sedang menjalani proses bimbingan untuk skripsi, namun dosenku sangat sulit untuk ditemui. Dan lagi, jurusanku bisa terbilang cukup rumit. Aku hampir menyerah dan putus asa. Selain terkendala di bagian pendidikan, aku juga dihadapkan dengan ekonomi yang bisa di bilang tidak bersahabat untukku saat ini.
Orang tuaku adalah seorang petani dan buruh harian lepas, sedangkan adik-adikku semuanya bersekolah.
Aku stuck dalam situasi yang aku hadapi. Aku bingung apa yang seharusnya aku lakukan. Ingin mundur namun tinggal selangkah lagi menuju cita-cita. Ingin maju, tapi banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan. Aku memutuskan untuk pulang kampung sekedar untuk menenangkan hati dari riuhnya isi kepala yang tak berkesudahan.
Berhari-hari aku termenung sendirian di dalam kamar. Menyeka air mata yang tak terbendung sebab tak kuasa menahan beratnya beban yang aku rasakan. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku ingin marah dan memaki sepuasnya atas takdir yang harus aku hadapi. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, aku juga tidak tau harus bersandar ke pundak siapa untuk sekedar menenangkan hatiku.
Aku pun seketika teringat pada sahabat baikku semasa SMA dulu. Dia selalu menjadi tempat ternyaman untuk menuangkan segala perasaan. Aku merasa di dengar, perasaanku pun di validasi. Dia tidak pernah menjudge setiap yang aku ceritakan. Dia selalu menguatkan, sesekali memberi masukkan.
Aku segera menghubunginya dan memintanya untuk bertemu. Harapku, setelah ini hatiku menjadi lebih lega dan pikiranku menjadi terbuka.
"Hai, La. Hari ini kamu sibuk ngga?, kita meet yukk"
Eh, boleh-boleh. Ayoo mau ketemu di mana? Aku free nih hari ini!, seru Lala di ujung telepon.
Di tempat biasa gimana? Jam 2 siang ya, kataku mengakhiri pembicaraan di telepon pagi ini.
Jam 2 siang di tempat biasa, sebuah tempat duduk yang berada di tepi danau. Tempat paling nyaman untuk berbagi cerita karena tempatnya yang jauh dari keramaian.
Aku mulai menceritakan segala keresahanku pada Lala. Dia pun dengan seksama mendengarkan sambil sesekali menepuk pundakku untuk menguatkan.
Fi, aku ngerti apa yang kamu rasain. Pasti berat banget ya jadi kamu. Jadi anak perempuan pertama dengan adik-adik yang masih kecil dan semuanya bersekolah. I feel you, Fi. Langkah yang kamu ambil sudah tepat. Terlepas dari bagaimana tanggapan kedua orang tuamu juga beberapa orang di sekitarmu. Kamu sudah melakukan yang terbaik, Fi. Meski tidak selamanya mereka bisa memahamimu. Aku bangga banget sama kamu, Fi. Terima kasih ya sudah sekuat ini. Lala pun memelukku dengan erat.
Kata Lala lagi; Saranku kamu coba aja cari kerja dulu Fi, untuk menyambung pendidikanmu dan sedikit membantu perekonomian keluarga. Kerja apapun itu, yang penting bisa menghasilkan uang. Semua pekerjaan beresiko, Fi. Tinggal gimana kita menyikapinya. Pilih yang resikonya rendah dan tidak merugikan diri sendiri ya, Fi.
La, makasih banyak ya udah nenangin aku. Kalo ngga ada kamu aku ngga tau bakalan gimana. Mungkin aku udah nyerah sama hidup, kataku sambil mengusap mataku yang berkaca-kaca.
Iya, Fi sama-sama. Jangan sungkan cerita ke aku ya kalo ada apa-apa. Jangan merasa sendirian, ada aku disini, ucap Lala lagi.
Sepulang dari ketemu Lala, aku memutuskan untuk segera mencari info loker di platform online. Kusingkapkan segala rasa gengsi demi masa depan yang sempat tertunda. Aku akan bekerja keras untuk kemudian menyambung masa depanku menjadi lebih cerah, tekadku dalam hati.
Dan kini, aku sudah resmi menjadi bekerja. Meskipun dengan gaji yang belum bisa dibilang cukup, aku tetap menjalaninya sembari mencari pekerjaan yang lebih layak. Segera menghilang dari kehidupan rumah yang sangat memuakkan. Bukan aku tidak ingin dirumah dan membantu orang tua, hanya saja aku masih mempunyai kehidupan yang harus terus ku upayakan. Begitu sulit menjadi sandwich generation sepertiku. Andai saja tidak kuat, mungkin aku sudah menyerah sejak dulu. Kehidupan tidak selalu indah, tapi kuharap suatu hari nanti aku akan memetik hasil dari usaha yang telah ku usahakan sejak kini. Semoga segera terwujud segala angan dan cita-cita. Terima kasih diriku, terima kasih sudah sekuat dan sehebat ini. Pround of you.
Komentar
Posting Komentar