Berdamai dengan Takdir

 Matahari bersinar dengan teriknya, membakar jalanan dan sesiapun yang berjalan di bawahnya. Siang itu, Mafa sedang duduk di bawah sebuah pohon besar yang terletak di belakang rumahnya. Pikirannya menerawang jauh ke beberapa tahun silam. 


Ketika itu, Mafa baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta di Kotanya. Sebagaimana Anak-anak seusianya, Mafa tentu saja mempunyai beberapa planning untuk kehidupan kedepannya. Awalnya, ia mempunyai planning untuk masuk ke pesantren selama satu tahun. Yaa,  gap year adalah pilihannya saat itu. 

Setelah itu, ia berencana untuk melanjutkan studinya di Pulau Jawa. Namun, rencana nya tidak berjalan semulus itu, lika-liku kehidupan pun mulai ia rasakan. 


Pagi itu, tak sengaja ia menemukan sebuah informasi mengenai Pesantren Tahfidz Al-qur'an, karantina selama satu tahun tanpa pengabdian. Waah, tentu saja ia sangat senang dan segera memberi tahu Orang tuanya tentang kabar gembira tersebut. Tanpa banyak pertimbangan, Orang tuanya pun memberinya izin untuk masuk ke Pesantren itu. 


Hari yang di nantikan pun tiba. Dengan diantar oleh Orang tuanya, Mafa pun masuk ke Pesantren itu. Awalnya ia merasa terasingkan karena tidak mengenal satu pun diantara teman-temannya, namun lambat laun akhirnya mereka pun saling mengenal satu sama lain. Di Pesantren itu juga, Mafa mendapatkan sahabat terbaik, yaitu Viana. Dia sangat baik dan suka menolong.


Suatu hari di dalam masjid, Viana menghampiri Mafa yang sedang duduk dengan tatapan kosong. 

"Hei, kamu lagi ngapain, kok bengong sih? kata Viana." Eh, ngga ada, Aku lagi kepikiran aja mau kemana setelah lulus dari sini nanti. Oh gitu, jawab Viana singkat. Kalau Aku sih, Aku pengen banget ke Mesir nanti setelah dari sini, kata Viana lagi. Sontak Mafa pun menatap ke arah Viana. "Beneran Vi, dulu Aku juga pengen kesana tau, kataku." Mereka pun bercerita panjang lebar mengenai impian mereka itu. 


Beberapa bulan sebelum kelulusan di Pesantren itu, Viana memberi tahu sebuah informasi tentang keberangkatan ke Mesir yang didapatkannya dari kakak kelasnya. Mafa pun tergiur dengan tawaran itu, lalu ia pun mengabarkan kepada Orang tuanya mengenai informasi yang didapatnya itu. Kata Orang tuanya, selagi ada temannya gapapa, asalkan kamu ngga sendirian nanti di sana. Mafa pun gembira dengan hal itu. Dengan sisa waktu kebersamaan yang tinggal beberapa bulan itu, mereka menyusun rencana matang-matang. 


Singkat cerita, tibalah hari di mana mereka akhirnya berangkat ke Mesir. Mereka sangat bahagia sebab akhirnya impian mereka terwujud, namun di sisi lain mereka juga bersedih sebab akan berpisah dengan keluarga dan sahabatnya. 


Sesampainya di Mesir, banyak sekali hal yang tak terduga akan terjadi sebelumnya. Setelah sampai di sini, banyak banget hal yang ternyata cuma iming-iming di awal. Yang katanya, persiapan bahasa hanya satu tahun, ternyata bisa sampai bertahun-tahun. Mungkin ada yang satu tahun, tapi itu hanya 1 di antara 100. Dan ngga seharusnya dijadikan patokan untuk iming-iming. 


Perjalanan menuju kesini memakan biaya yang tidak sedikit, maka hal itu tidak mudah untuk membuatku dan teman-teman lantas berbalik badan dan memilih kembali ke Tanah Air. Sebab kami tau, betapa kecewanya Orang tua nanti mengingat harapan yang mereka titip ke kami demikian besar. 


Dengan berat hati, Mafa pun menjalani hari-hari di sini. Masih dengan perasaan yang tidak terima sebenarnya, melihat teman-teman lain tidak bernasib sama seperti kami, juga mengingat usia yang tidak lagi bisa dibilang anak-anak. Banyak sekali perdebatan di dalam hati yang tidak bisa disampaikan, hanya bisa dipendam saja. 


Banyak sekali nasihat yang masuk untuknya, di antaranya, “niatkan saja untuk menuntut ilmu, gelar itu bonus.” Bahkan ada juga beberapa temannya yang membagikan informasi Tes yang resmi, namun rasanya Mafa sudah tidak berambisi kesana, yang ada dalam hatinya sekarang adalah bagaimana ia belajar dengan baik supaya ilmu yang didapat juga bermanfaat, dan juga agar ia segera naik ke level berikutnya. Berusaha memang tidak salah, hanya saja Mafa tidak ingin mengulang kecewa sekali lagi, jika akhirnya hasil yang didapatkan dari Tes itu tidak sesuai dengan keinginannya.


Hingga kini, Mafa masih berusaha memeluk takdir dengan erat. Ia masih mencoba menerka ada hal indah apa di depan sana yang telah di persiapkan Tuhan untuknya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengelola Emosi

Cerita di Balik Cadar

Pindah ke Kota lain